Kemungkinan besar ini adalah beberapa masalah yang membuat anak malas belajar
1.Beban sekolah yang terlalu banyak.
Dalam sehari, anak dicekoki 6-7 pelajaran berbeda yang rata2 diuji secara sangat superfisial: Menghafal kata demi kata. Ini sangat melelahkan.
2. Sistem mengajar yang tidak menarik atau tidak suka pada pelajaran / guru
Coba diperhatikan, siapa tahu anak malas hanya pada pelajaran tertentu. Jika ya, maka ini mungkin berhubungan dengan metode mengajar guru yang buruk, anak tak suka pada pelajaran tersebut atau rasa tak suka pada guru.
3.Anak tersebut bukan anak yang berorientasi akademis.
Tidak semua anak memiliki kemampuan akademis yang tinggi. Yang saya maksud ‘akademis’ di sini adalah pelajaran serius yang mendominasi kurikulum seperti Bahasa Inggris, Matematika, IPA, Bahasa Indonesia, PPKn,dll. Ada anak yang kelak akan menghabiskan hidup sebagai foto model, pelukis, koreografer, pemain bola,fotografer,dll. Anak-anak model begini sangat mungkin malas menghabiskan waktu dengan tekun untuk capek-capek menghafal untuk ulangan, misalnya.
4.Gangguan fisik.
Mungkin ada gangguan pendengaran atau penglihatan. Tentu saja harus dilakukan observasi dan bahkan pengecekan medis.
5.Masalah keluarga atau problem emosional
Misal, orang tua orang tua tidak rukun, merasakan bersaing dengan saudara kandung secara akdamis dan terus-menerus kalah, teman terdekatnya baru pindah ke sekolah lain,dll.
6.Tak ada panutan
Anak tak punya contoh tentang apa yang dimaksud dengan ‘rajin’. Anak kecil belum mampu berpikir konkret, mereka butuh contoh nyata untuk hampir semua hal yang harus mereka lakukan.
7.Orang tua salah bicara saat menasehati anak.
Coba diingat-ingat, pernah ngga bicara,”…Papa Mama tuh kerja biar kamu bisa sekolah. Jangan kayak Papa dulu, dulu tukang bolos…Suka dipanggil guru…”. Saat bicara, Bapak/Ibu sudah dalam keadaan punya rumah, mampu berlibur ke Bali, punya mobil 2-3, misalnya???? Secara sadar atau tidak sadar, mereka akan berpikir,”Ohhh….Bokap Nyokap gue dulu bandel, malas, sekarang ternyata sukses tuh…Ya udah. Ga papa dong sekarang gue malas, nanti gue juga berhasil…”. Berhati-hatilah saat bicara.
8.Fasilitas berlebih.
Anak diberi beberapa gadget (HP,IPod,PS,dll) / mainan canggih.
9.Anak tak cocok dengan sekolahnya
Anak pindah ke sekolah baru yang sistem pendidikannya beda padahal dia sudah betah dengan sistem sebelumnya, misal:Dari sekolah nasional pindah ke sekolah internasional dan sebaliknya. Hal lain: Apakah dia mengalami bullying ? Bullying, atau olok-olok baik secara fisik ataupun psikologis, berpotensi bukan hanya menghancurkan area akademis si anak tapi juga merusak dia secara mental/kejiwaan.
10.Belum tahu cara belajar yang cocok, strategi belajar yang tepat atau lingkungan khas yang bisa memacu semangat belajarnya
Tipe anak belajar bermacam-macam. Ada anak yang mudah paham jika dia mendengarkan (audio learner) , ada yang lebih mudah ngerti kalo dikasih lihat gambar (visual learner),dll. Kemalasan belajar bisa jadi muncul karena anak belajar hanya dengan cara yang ternyata bukan metode yang cocok dengannya. Ada juga anak yang baru bisa belajar jika belajar sambil mendengarkan musik atau susah belajar jika ada orang ngobrol, dll.
11.Lingkungan rumah yang tidak kondusif
Coba dilihat, di mana Bapak/Ibu tinggal? Di perkampungan padat yang berisik padahal si anak sudah 6 tahun tinggal di perumahan yang tenang sebelumnya sehingga ia biasa belajar di tempat yang sepi ? Atau pas di sebelah rumah ada warnet ?Atau rumah teman ngobrolnya hanya berjarak 50 meter dari tempat Bapak/Ibu tinggal dan mereka berdua tak dibatasi jam bertemunya oleh orang tua sehingga sampai rumah sudah capek? Satu-satunya cara mengatasi penyebab macam ini adalah mendisiplinkan anak untuk bisa mengatasi hambatan atau godaan.
12.Terlalu capek
Misalnya:Jam main terlalu panjang atau terlalu banyak ikut kursus.
13.Kemiskinan
Kemiskinan menyebabkan mereka tak bisa tinggal di rumah yang nyaman. Kemiskinan mungkin memaksa mereka untuk cari nafkah sepulang sekolah, membuat mereka minder karena uang sekolah terus ditagih guru di depan kelas atau membuat mereka tak bisa membeli buku teks (banyak sekolah yang tidak menggunakan buku tulis. Ada banyak sekali anak yang mampu menerabas keterbatasan ini, dalam arti mereka tetap bisa rajin kendati situasi amat terbatas, namun harus diakui bahwa keterbatasan ini bagi banyak anak lainnya sangat mungkin menjadi penyebab mengapa mereka malas belajar.
Tips atau cara praktis untuk mengatasi anak malas belajar dengan mudah bisa didapat di buku-buku atau internet. Bagaimanapun, saya yakin bahwa tips tersebut akan sulit dilakukan secara konsisten jika kita tidak membereskan hal yang sifatnya fundamental:Kelancaran berkomunikasi yang membuat kita tahu apa keinginan dan kebutuhan anak, cara berkomunikasi yang membuat anak merasa nyaman dengan dirinya sendirinya,dengan orang tuanya serta dengan hidupnya secara keseluruhan.
Berikut ini saya akan fokuskan pembahasan hanya pada faktor-faktor mendasar yang bisa membuat orang tua kesulitan memecahkan masalah-masalah di atas.
a. Tidak biasa berkomunikasi dengan anak
Komunikasi yang baik adalah percakapan yang melibatkan dua orang:Keduanya bisa bicara, saling melemparkan pendapat dan saling mendengarkan. Komunikasi juga berarti “Si A (pembicara) menyampaikan sebuah pesan kepada si B (si pendengar) dan pesan itu diterima dengan baik. Orang tua sering bicara ke anak namun jarang membangun komunikasi sama sekali. Jika Bapak/Ibu hanya biasa bicara sepihak, anak hanya boleh mendengarkan, tentu saja ‘proses investigasi’ akan gagal.
Film Indonesia pertama (mudah-mudahan bukan satu-satunya) yang menggambarkan adanya komunikasi/dialog cerdas antara orang tua dengan anak adalah Petualangan Sherina yang dibuat oleh Mira Lesmana. Ketika itu Ibu Sherina memberitahu Sherina tentang rencana kepindahan mereka dari Jakarta ke Bandung, Sherina mengeluh lalu mengajukan pertanyaan yang dijawab dengan sabar dan matang oleh si ibu. Struktur senioritas dalam masyarakat dan keluarga di kultur timur membuat ‘dialog dan debat’ dengan orang yang lebih tua, apalagi dengan orang tua sendiri, adalah hal tabu. Berapa banyak sih orang tua yang duduk dengan anak, diskusi tentang rencana liburan-mau naik apa, nginap di mana, dll-dan menanyakan perasaan serta pendapat anak tentang liburan yang baru dialami?
b.Tak ada kerja sama dengan pihak sekolah
Pendidikan adalah bangunan bersisi tiga, idealnya harus ada kerja sama murid-orang tua dan pihak sekolah (dalam hal ini guru). Cobalah buat janji dengan guru, minta ketemu dan tanyakan hal-hal yang Bapak/Ibu pandang perlu. Kalo Bapak/Ibu benar-benar ngga tahu mau tanya apa, tetap saja ketemu lalu tanya,”Saya ingin anak saya berhasil di sekolah, apa saja yang harus saya lakukan ya?” Kalo gurunya malas jawab, berarti sekolah anak Bapak/Ibu adalah sekolah jelek,percayalah….
c. Kesalahan dalam memaknai “kesuksesan” dan ketidaktahuan akan jenis-jenis kecerdasan.
Banyak orang tua yang beranggapan bahwa kalo anak masuk Harvard atau ITB, anak tersebut sukses…Kalo anak masuk akademi perawat, jadi ibu asrama, jadi ibu rumah tangga, dancers, pelukis atau pemahat berarti kurang sukses. Kalo anak hafal tabel perkalian berarti orang itu sukses tapi kalo ia hafal nama semua tetangga, rajin menegur sapa dan menolong mereka, berarti ngga sukses. Kekacauan macam ini membuat orang tua menuntut anak untuk rajin belajar walau anaknya, katakanlah, otaknya tidak di area akademik. Saya pernah punya murid yang dianggap bodoh tapi berkepribadian supel dan akhirnya pindah ke sekolah pariwisata lalu sukses di situ. Apakah ia bodoh? Kecerdasan interpersonalnya sangat tinggi,kok, bagaimana mungkin ia dikatakan bodoh? Ada juga anak yang pernah ngga naik kelas tapi pintar ngarang lagu. Apakah ia bodoh ? Jangan pernah lupa, kecerdasan ada banyak jenis dan kecerdasan musikal adalah salah satunya.
d.Gaya hidup atau kebiasaan sehari-hari yang tidak nyambung dengan tuntutan terhadap anak untuk rajin belajar
Ada yang terus menerus membawa anaknya ke konter baju dan sepatu tapi di rumah ngoceh tentang pentingnya membaca…Ada orang tua yang rela mengeluarkan 300 ribu untuk beli sepatu dan saat anaknya menunjukkan buku cerita seharga 50 ribu, orang tua langsung teriak,” Mahal amattt!” tapi di rumah ngomel kenapa anaknya malas baca. Kalo saya jadi anaknya, langsung deh saya nyahut,”Tapi saya rajin pake sepatu,’kannn……’Kan sepatu lebih penting daripada buku???” Anak-anak tak akan pernah rajin membaca jika orang tua menunjukkan bahwa buku adalah benda yang tak pantas untuk dihargai.
Saat anak saya berusia 3 tahun, saya pernah ngajak dia beli sepatu karena sepatunya rusak. Dia trus menerus memilih sandal. Balik dari mal, saya baru sadar bahwa saya ngga punya sepatu (Saya punya sepatu sandal dan sandal. Sepatu tertutup saya taruh di sekolah, hanya dipake saat ngajar). Bagaimana mungkin dia milih sepatu, lha wong dia nyaris ga pernah liat ibunya pake sepatu??Coba perhatikan, anak-anak yang malas baca hampir semua tak terbiasa melihat orang tuanya baca, bagaimana lantas mereka bisa rajin membaca/belajar ?
e. Anak introvert atau pendiam
Sulit untuk tahu penyebab malas belajar jika anak introvert atau pendiam. Galilah info dari guru dan teman-teman dekat. Jika ia punya Facebook, masuklah ke FaceBooknya. Jika ia tidak mau meng-confirm friend request Bapak/Ibu, berarti ia tidak merasa nyaman dengan kehadiran orang tuanya.Mengancam ia untuk men-confirm friend request Bapk/Ibu hanya akan memperburuk suasana.
f. Orang tua temperamental atau tidak ramah
Sudah jelas, anak malas berkomunikasi dengan orang tua macam ini.
g. Orang tua pemalas.
Orang tua malas cari tahu mengapa anaknya malas, menganggap bahwa tips mengatasi kemalasan anak yang baru saja dibaca di buku cara mengasuh anak terlalu mengada-ada (walau tahu bahwa itu ditulis oleh psikolog anak senior, misalnya),dll. Orang tuanya kerjanya cuma shopping, baca tabloid, ngga pernah baca buku parenting, ngga pernah diskusi dengan orang tua lain yang sudah berpengalaman. Jangan berharap buah semangka berbuah jagung. Kalo ortunya malas ya anaknya malas jugalah.
h. Kurang “mengeksplisitkan” kenyataan, tidak ada dialog yang ‘berisi‘ dengan anak.
Ada orang tua yang mengurus bisnis online dari rumah atau berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Kedua profesi ini (dan beberapa profesi lainnya seperti penulis, konselor, illustrator,dll) bisa dijalani dengan gaya yang (seolah-olah, sepertinya) santai. Penting bagi orang tua untuk bicara dengan anak bahwa hidup mereka sesungguhnya tidaklah santai. Ibu rumah tangga setelah capek membereskan rumah dan mengurus anak serta suami, sangat mungkin akan nonton infotainment atau ke rumah tetangga lalu ngegossip. Jika anak dianggap sudah mengerti, jelaskan bahwa nonton TV dan ke rumah tetangga adalah hiburan karena anda sudah capek. Jangan biarkan anak anda berpikir,”Wah, enak aja Nyokap gue, cuma bisa merintah gue rajin belajar. Dia sendiri kerjanya cuma nyuci, nonton TV,masak….”.
Jelaskan bahwa anda sedang kerja. Saat sedang mengetik, katakan,”Ini Papa/Mama lagi kerja loh,lagi buat surat ke bos”. Saat sedang browsing gambar di internet,katakan,”Ini Papa/Mama lagi cari contoh barang nih untuk dikirim ke orang yang mau beli barang”. Layar yang penuh warna sangat mungkin membuat anak berpikir bahwa hidup anda mudah dan santai.Saat sedang masukkan baju ke lemari katakan,”Kalo tugasmu belajar tugas Mama beresin baju, nyetrika, rapikan lemari..”. Jangan berasumsi bahwa anak akan mengerti dengan sendirinya bahwa anda sedang mengerjakan tugas.